Press "Enter" to skip to content

KEUSKUPAN TANJUNG KARANG, TUHAN TIDAK MEMBEDA-BEDAKAN ORANG

Share this:

Sebelum terbentuk Prefektur Apostolik Tandjung-Karang sebenarnya dimulai pada 16 Desember 1928, Pastor H.J.D van Oort, SCJ tiba di Tanjungkarang dan mulai tinggal di sana.

Provinsi Lampung terletak di daratan Pulau Sumatra paling selatan dengan pusat kotanya, Tanjungkarang (Sekarang: Bandar Lampung).

Dulu Tanjungkarang digunakan oleh Pemerintah Belanda sebagai tempat tinggal dengan sejumlah pekerja orang-orang Katolik dan memiliki jarak kurang lebih 5 km dari Teluk Betung.

Misi Katolik di mulai. Tahun 1926, Pastor van Oort membeli tanah dekat pasar untuk membangun gereja di Lampung. Dalam waktu dekat kemudian sebuah gereja dan paroki baru didirikan untuk pastor yang akan tinggal di sana. Gereja itu saat ini adalah “Kristus Raja”.

Sebelumnya, Tanjungkarang dilayani langsung dari Palembang. Ini merupakan satu dari tiga stasi yang didirikan.

1929, dibangunlah sebuah sekolah di Teluk Betung, di sebuah tempat pelabuhan dan ibu kota kekuasaan orang Belanda. Ketika Suster-suster Hati Kudus datang di Teluk Betung, Pastor van Oort, SCJ menyerahkan sekolah tersebut kepada mereka pada Oktober 1931.

Pastor H.J.D. van Oort, SCJ tertarik untuk melayani di tengah-tengah pendatang baru dari Jawa.

Pertengahan tahun, 4 Juni 1932, empat Suster Fransiskan dari St. George Martir dari Thuine kemudian datang di Pringsewu untuk membantu misi di sana. Mereka membuka sekolah pada 11 Juli 1932.

Pada tanggal 1 Februari 1937, stasi misi kedua yang dibuka di luar Tanjungkarang adalah Metro. Tempat ini pertamakali disebut ‘Metropolis’ dan diharapkan menjadi sebuah pusat kota bagi para transmigran pada tahun 1934.

Misi pertama ditangani oleh Pastor M. Neilen, SCJ; dia adalah imam pertama yang tinggal di Metro. Setahun setelah itu Suster-suster Fransiskan membuka sebuah rumah sakit dengan nama ‘St. Elisabeth’.

Gisting merupakan stasi misi yang ketiga. Di sana ada 80-an orang Katolik sejak 1928 tetapi tidak berkembang disebabkan karena beberapa kesulitan dari orang-orang yang tidak percaya akan Tuhan.

Pada tanggal 20 Februari 1942, Jepang menguasai Lampung. Kemudian pada bulan April pada tahun yang sama semua imam dan suster ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara. Rumah Sakit Katolik di Metro diambil alih oleh Jepang dan gereja digunakan sebagai barak-barak.

Setelah perang, sejak Nopember 1946 umat Katolik Lampung mendapat pelayanan pastoral dari imam-imam pribumi Indonesia dari Jawa. Satu dari mereka adalah Pastor J. Wahyosudibyo, OFM. Pada tahun 1947 dia ke Jakarta dan Pastor J.H. Padmoseputro yang diutus oleh Mgr. Sugiyopranoto – Uskup Semarang (Jawa Tengah) – menggantikan misinya di Lampung.

Dia mendirikan seminari persiapan dengan lima murid (satu di antara mereka adalah Henrisoesanta – yang sekarang menjadi uskup Tanjung Karang).

Tahun 1949, beberapa rumah sakit, paroki dan sekolah dibakar.

Pastor paroki bersama dengan semua suster (para postulan dan novis), para seminaris dan anak-anak panti asuhan dievakuasi ke Padang Bulan, Pringsewu.

Pada Juni 1952, gereja Lampung menjadi Prefektur Apostolik dan Pastor A. Hermelink, SCJ dipilih menjadi Prefek. Pertambahan stasi-stasi baru terus berlanjut yakni Gisting (1955), Kotabumi (1963) Kalirejo dan Panutan (1965), Kotagajah (1967) dan Sidomulyo (1977).

Prefektur Apostolik Tanjung Karang dipisahkan dari Palembang dan menjadi sebuah keuskupan. Pastor A. Hermelink, SCJ diangkat menjadi Uskup pada tanggal 19 Juli 1961. Ia ditahbiskan sebagai Uskup pertama di Keuskupan Tanjungkarang dan tinggal di Pringsewu.

6 Juli 2012, Paus Benediktus XVI menerima pengunduran diri Mgr. Henrisoesanta yang mengundurkan diri sebagai Uskup Tanjungkarang selama 36 tahun sehingga keuskupan memasuki masa sede vacante (kekosongan tahta) dan tugas keuskupan dijalani oleh Uskup Agung Palembang Mgr. Aloysius Sudarso, S.C.J. selaku Administrator Apostolik.

Pada tanggal 19 Juli 2013, Vatikan mengumumkan bahwa Paus Fransiskus memberi uskup baru bagi Keuskupan Tanjung Karang yaitu Rm. Yohanes Harun Yuwono dan Mgr. Harun ditahbiskan menjadi Uskup Tanjung Karang pada Kamis, 10 Oktober 2013. Ia mengambil moto tahbisan “Non Est Personarum Acceptor Deus” (Tuhan tidak membeda-bedakan orang).

Sumber: keuskupantanjungkarang.org

Be First to Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *