Press "Enter" to skip to content

Ferdianus Jelahu: Pendidikan Kontekstual

Share this:

KATOLIKTIMES.COM – Perubahan kurikulum memberikan dampak positif terjaminnya mutu pendidikan pada satuan pendidikan. Satuan Pendidikan diberi kesempatan untuk mengembangkan pembelajaran kontekstual dan relevan. Kontekstual dalam arti tertentu tidak tergantung pada satu satu model atau strategi pembelajaran.

Dalam hal ini guru harus belajar dari berbagai sudut padang dalam menyampaikan pengajaran di kelas (Lega, 2024). Sedangkan pembelajaran relevan mengacu pada pengalaman hidup siswa-siswi.

Pembelajaran relevan memainkan peran penting untuk mengembangkan kemampuan nalar kritis terhadap situasi permasalahan dalam hidup sehari-hari.

Pembelajaran ini mendorong siswa-siswi untuk menganalisis konteks dan berdaya juang mengatasi permasalahan yang ditemukan.

Pembelajaran kontektual dapat diterapkan pada satuan pendidikan sesuai dengan karakteristik siswa-siswi.

Pembelajaran ini diharapkan menggali pokok-pokok persoalan, pengalaman yang dekat dengan kehidupan siswa-siswi dalam hidup sehari-hari, misalkan mengembangkan rasa tanggungjawab dalam organisasi kegiatan di sekolah.

Guru dapat analisis hasil kerja siswa-siswi, sejauhmana mereka dapat mengerjakan secara serius atau tidak dalam melaksanakan kerja organisasi? Guru perlu membuat pertanyaan menggali potensi pengalaman siswa-siswi agar dapat menemukan sendiri jalan keluarnya.

Siswa-siswi sendiri dapat mencari solusi bila mengalami permasalahan.

Ada beragam bentuk pengalaman siswa-siswi yang dapat digali. Apakah guru mau menggali pengalaman itu? Untuk memperkaya pemahaman siswa-siswi, guru perlu menghargai pengalaman hidup sehari-hari dari siswa-siswi.

Pengalaman harian diharapkan meningkatkan pemahaman aktual dan relevan untuk sudut padang baru dalam pembelajaran.

Pembelajaran itu tentu mengandung arti penting sebagai materi pembelajaran kontekstual dan relevan. Pentingnya menghargai pengalaman yang dirasakan, dan dialami oleh siswa-siswi sebagai bagian dari pengetahuan kontekstual dan relevan.

Meski ada perbedaan status antara guru dan siswa. Menurut Habermas dalam Witono (2024) pertama, Pendidikan yang menekankan dua arah perlu diupayakan terus-menerus. Komunikasi dua arah dilakukan sejajar kendati ada perbedaan status relasi guru dan murid.

Dalam kesejajaran guru dan murid membangun dialektika rasional guna merancang kesepakatan bersama. Kedua, pembelajaran dibuat lebih melatihkan argument critical thinking.

Misalkan dalam pembelajaran menggunakan berbagai sudut padang dengan mengali literatur yang dapat dipertanggunjawabkan.

Perubahan kurikulum terus meningkatkan pemahaman pembelajaran kotekstual dan relevan bagi siswa-siswi zaman sekarang.

Menurut Banarwiratma (1991) pendidikan kontekstual merupakan kegiatan pendidikan yang dijalankan secara sadar dalam komunikasi kritis dengan konteks hidup nyata. Pendidikan dan pengajaran bukanlah paket informasi yang disampaikan dengan pretensi dapat ditangkap terlepas dari konteks, melainkan komunikasi dalam konteks masyarakat, komunikasi dengan dan di tengah-tengah hidup nyata.

Melalaikan hal itu, kegiatan dan lembaga pendidikan akan menghambat seluruh proses learning. Relevansi pendidikan kontekstual berkaitan dengan prilaku hidup sehari-hari, termasuk pengalaman dan pembiasaan baik di sekolah maupun di lingkungan keluarga yang kerapkali dilakukan lewat kegiatan-kegiatan hidup sehari-hari.

Pentingnya Pendidikan Imajiner

Sekolah-sekolah tengah berusaha mengimplementasikan aksi nyata pendidikan imajiner.

Menurut Witono (2024) pendidikan imajiner adalah adanya kesejajaran antara guru dan murid (melingkar), guru berada ditengah-tengah siswa sebagai fasilitator, mentor, dan pendidik.

Posisi melingkar ini bukan berarti melingkar dalam bentuk nyata seperti di ruang kelas, tetapi di kedalaman batin sang pendidik.

Dalam batin, guru merasa berada di tengah-tengah siswa sehingga dalam mengajar, pendidik tidak memosisikan diri pada relasi subjek-objek, tetapi subjek-subjek. Praktik pembelajaran ini tidak ada disposisi status, yang ada adalah igaliter (berdiri sama tinggi, duduk sama rendah).

Kegiatan pembelajaran seperti menciptakan suasana belajar yang interaktif antarguru dan murid dari hati ke hati. Dengan demikian para murid mampu mengungkapkan pengalaman secara terbuka dalam ruang pembelajaran bersama.

Dengan demikian sekolah menjadi wadah menemukan pengetahuan berbasis analisis sosial. Analisis langsung dari konteks pengalaman hidup sehari-hari siswa-siswi.

Semoga peran guru semakin mampu mengakomodir pengalaman hidup sehari-hari siswa-siswi. Sehingga dinamika pembelajaran tetap kontekstual dan relevan dalam hidup sehari-hari.

Penulis adalah Ferdianus Jelahu, S.Pd Kepala SMP Bruder Pontianak, Alumni USD Yogyakarta. Artikel dimuat pada kolom Opini Pontianak Post tanggal 05 Juni 2024.

Be First to Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *