Press "Enter" to skip to content

Akulturasi Budaya: Refleksi Atas Realitas Budaya Terkini

Share this:

Oleh: Ambrosius M. Loho, M. Fil.

KATOLIKTIMES.COM – Akulturasi Budaya: Refleksi Atas Realitas Budaya Terkini. Tahun 2018 adalah tahun pelaksanaan Kongres Kebudayaan. Setahun sebelumnya yakni 2017, telah disahkan pula Undang-undang Republik Indonesia No. 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Dua fakta ini terpusat pada agenda strategis kebudayaan.

Agenda strategis kebudayaan tersebut membuka peluang bagi semua pegiat budaya untuk terus ‘menggenjot’ segala upaya demi pemajuan kebudayaan.

Paling tidak sasaran utamanya dapat disebutkan antara lain: Memajukan kebudayaan demi memperkuat ekosistem budaya dan peningkatan kapasitas sumber daya di bidang kebudayaan.

Dengan kata lain ini merupakan strategi kebudayaan yang sudah menjadi keputusan bersama dalam Kongres Kebudayaan 2018 itu, termasuk mendorong secara maksimal kebijakan pembangunan yang memperhatikan keberlanjutan “ekosistem budaya”. Maka poin pentingnya adalah strategi kebudayaan.

Terkait hal itu, perbincangan tentang kebudayaan sebagai landasan tegaknya sebuah bangsa tak pernah berakhir.

Maka pertanyaan reflektif yang tak terhindarkan adalah apakah kebudayaan yang sudah ada seperti sebelumnya, bisa menyesuaikan dengan adanya budaya baru seperti saat ini? Bandingkan situasi kini, kita ada di tengah mewabahnya pandemi covid-19? Menjawab pertanyaan ini, penulis berangkat dari beberapa refleksi penulis sebelumnya.

Baca juga: Kemampuan Berbahasa, Kemampuan Berpikir

Dalam refleksi-refleksi yang pernah penulis uraikan sebelumnya, kurang lebih nampak dengan jelas bahwa kebudayaan kini tidak tanpa kaitan dengan perkembangan apa pun di dunia.

Kita pun tidak pernah harus berhenti untuk membicarakan kebudayaan itu, karena kebudayaan adalah hasil cipta, karya dan karsa manusia. Maka adanya pandemi Covid-19 juga, yang telah melahirkan budaya baru, atas cara tertentu mewajibkan seluruh manusia untuk menyambutnya dengan penuh keterbukaan.

Fakta yang terjadi kini, seputar budaya baru antara lain dapat disebutkan adalah: Diselenggarakannya berbagai webinar yang pada praktisnya mengandalkan media online. Tak kurang dari para ilmuan, peneliti, mahasiswa, dosen dan perusahaan memanfaatkan media online untuk digunakan dalam berbagai macam kegiatan, di tengah pandemi kini.

Dan menurut ukuran penulis, tak bisa dielakkan itulah wujud budaya baru kita, yang akan bertahan bahkan setelah pandemi ini berakhir. Pendek kata, webinar dan kegiatan-kegiatan yang memanfaatkan platform online itulah budaya baru kita kini.

Sejalan dengan itu, Ki Hadjar telah menguraikan pandangannya tentang fakta adanya budaya baru, dengan konsepnya akulturasi budaya. Bagi dia, kita memang telah berada dalam tahap akulturasi budaya.

Demikian katanya: “….. sampailah kita pada saat yang baik untuk mulai menyinggung-nyinggung soal kebudayaan. Kini kita berada dalam jaman akulturasi-pertukaran kebudayaan.” Dan hal itu terjadi, karena sifat pokok dari kebudayaan adalah universal, yang bertujuan untuk mempertinggi hidup dan penghidupannya (Ki Hadjar Dewantara, 1956: 3-4).

Penegasan sederhana tapi taktis ini, tentu menyorot soal kapasitas sumber daya yang sudah seharusnya mampu beradaptasi dan ber-akulturasi dengan budaya baru.

Maka akulturasi itu harus mengandung beberapa poin yakni: Bahwa di dalam akulturasi-pertukaran kebudayaan, harus terlaksana secara berkesinambungan dengan alam kebudayaan sendiri.

Baca juga: Melesatnya IPTEK Terkikisnya Budaya

Dalam arti, bahwa akulturasi-pertukaran budaya itu, berkesinambungan dengan budaya sendiri, maka jika kita sudah bersatu dalam ‘alam universal’, kita bersama mewujudkan persatuan dunia dan manusia yang berpusat dengan alam kebudayaan dunia.

Dengan catatan, tetap berpijak dari budaya sendiri (ibid). Hal ini berarti, bolehlah kita berbaur dengan budaya baru (misalnya budaya teknologi dengan memanfaatkan media online), tapi tidak lupa pada pijakan kita, yakni budaya sendiri. Bahwa kita memiliki adat, kebiasaan (lokal), sopan santun dan cara berpikir yang mentradisi.

Dengan demikian, kita akhirnya disadarkan untuk terus berusaha ber-akulturasi dengan budaya baru, yang sedang dan akan terus mempengaruhi peradaban kita. Budaya baru kini, yang untuk sebagian orang bisa saja menyusahkan, pada prinsipnya tidak bisa kita lepaskan dari peradaban kita.

Maka jika dalam kongres kebudayaan dititikberatkan soal pemajuan kebudayaan demi memperkuat ekosistem budaya, kapasitas sumber daya individu harus ditingkatkan untuk membangun ekosistem kebudayaan yang dimaksud.

Budaya baru yang ada kini, memang terjadi bak air mengalir, maka kapasitas sumber daya individu sudah seharusnya harus selalu siap, menerima dan bersifat terbuka terhadap budaya baru yang ada.

Demikianlah dapat disimpulkan bahwa kuncinya adalah sumber daya individu, manusia itu sendiri, yang mampu ber-akulturasi dengan budaya baru. Waktu berubah dan kita berubah di dalam waktu.

Ambrosius M. Loho, M. Fil. adalah Dosen Universitas Katolik De La Salle Manado, Pegiat Filsafat.

Be First to Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *