KATOLIKTIMES.COM – COVID-19 sudah melanda dunia setahun lebih sejak awal kemunculannya di Wuhan, Tiongkok. Video orang pingsan, kejang-kejang, dan lain sebagainya beredar secara bebas di media sosial. Sungguh, ini menjadi suguhan yang menakutkan bagi siapapun yang menyaksikannya.
Saya yakin tidak ada satu orangpun yang ingin berada dalam kondisi tersebut, lagi naik KRL, tiba-tiba kejang-kejang pas mau tap out, eh ternyata saldonya kurang. No, apapun yang tersaji dalam video Wuhan tersebut benar-benar mengerikan.
Waktu terus berjalan dan kemudian tepat di bulan Maret 2020 tersiar kabar bahwa sudah ada WNI yang terinfeksi COVID-19. Seperti bola salju, jumlah penyintas COVID-19 semakin bertambah setiap harinya. Jumlah penyintas di Indonesia yang tadinya berada di bawah Singapura dan Malaysia, tiba-tiba meningkat drastis dan menyalip kedua negara tersebut.
Saat itu saya merasa, wah bahaya ini, saya dan mungkin para pemangku kebijakan pasti belum pernah berada pada masa-masa sulit seperti ini. Lambat laun pasti akan ada perubahan untuk menyikapi bahaya ini.Perubahan pertama yang terjadi adalah soal misa, yang tadinya kita misa konvensional, tiba-tiba diganti jadi misa online, bahkan saat itu sedang masa prapaskah dan Tri Hari Suci sudah dekat.
Baca Juga: TRANSFORMASI ORGANISASI PEMUDA KATOLIK
Saat pertama kali misa online, saya kagok sekali, biasanya kita misa nengok hp buat cek waktu, kala itu saya cek layanan seluler untuk ngecek kuota udah abis atau belum. Sumpah, misa online boros kuota untuk saya yang waktu itu masih nganggur. Kadang saya merasa ga enakan ikut misa online, takut digerebek misa pangkalan.
Perubahan berikutnya adalah soal bermasker, awalnya saya masih bisa menerima dengan akal sehat bahwa kita wajib mengenakan masker, apapun jenisnya. Waktu itu beredar masker kain dan masker scuba dipasaran karena harga masker medis melambung tinggi.
Teringat statement ngakak kocak dari pejabat publik yang mengatakan masker hanya untuk orang yang sehat, kemudian direvisi. Ini bukti bahwa memang negara kita tidak siap menghadapi hal ini. Kita pun sebagai rakyat dibuat kalang kabut dengan aturan bermasker ini, bahkan diancam denda jika tidak bermasker.
Yang unik dari pandemi ini adalah menjamurnya pakar-pakar konspirasi di sosial media. No offense yah, saya pun dulunya menaruh ketertarikan dengan adanya teori konspirasi yang menuntut berpikir asimetris dalam menyingkap sebuah peristiwa.
Tapi di masa seperti ini, teori konspirasi yang merebak kurang diimbangi dengan cara pemerintah menanggulangi dampak Pandemi serta komunikasi publik yang kurang cakap. Akhirnya, muncul berbagai perlawanan COVID di daerah, dan dalam beberapa kesempatan, Negara gagal mengimbangi narasi konspirasi yang bergulir di sosmed.
Saya tidak ingin mengganggu keyakinan rekan-rekan yang memegang teguh konspirasi, saya yakin bahwa sebenarnya ada nilai yang ingin diperjuangkan daripada sekedar repost postingan konspirasi. Ada angkara murka, kekesalan, amarah, kekecewaan yang sedang kawan-kawan hadapi. Ini bisa jadi indikator apakah sebenarnya kebijakan penanggulangan COVID sudah on the right track atau belum.
Baca Juga: PMKRI Cabang B.Lampung Peduli Bencana Sulwesi Barat Hingga Kalimantan Selatan
Penting bagi pemerintah untuk menjaga agar masyarakat tidak diliputi kegusaran dan kekecewaan dalam menghadapi masa sulit ini. Alih-alih memberikan kesejukan, eh tiba-tiba muncul kasus ceban. Ceban dari sekian banyaknya paket lho, lumayan tuh, kalau dibeliin micin, satu Indonesia bego lho.
Konsep nongkrong dan diskusi pun turut bertransformasi akibat adanya pandemi ini. Dulunya kita biasa ngobrolin hal yang tidak penting hingga ngomongin di warung kopi, sekarang kita dituntut untuk tetap berdialektika dalam ruang digital.
Dulunya mau ikut seminar menteri masih sulit karena menunggu kehadiran mereka di tempat kita, sekarang dengan modal klik link kita bisa bertegur sapa dengan para menteri. Tapi ya itu tadi, ini hanya berlaku untuk kalian yang tinggal di daerah dengan sinyal kencang dan punya kuota unlimited, bagi yang tidak, yang penting sehat dan masih bisa bekerja saja.
Yang kulihat, pemerintah sudah berupaya keras untuk meminimalisir penularan COVID-19. Mulai dari 3 M, 3 T, dan kebijakan hulu hilir lainnya. Soal 3 T ini, jujur yang sepertinya berat adalah test, selain soal biaya, ini cukup menyakitkan bagi yang menjalaninya. Saya pernah menjalani test ini dan hidung terasa sakit pasca pengambilan sampel oleh petugas.
Ya mau bagaimana lagi, ini harus kita lalui sebagai indikator apakah kita terjangkit COVID-19 atau tidak. Tapi dengan melihat harga test yang semakin menurun, sepertinya hukum ekonomi berlaku disini, asalkan banyak stok testernya, maka harga akan turun dengan sendirinya (tentunya dengan instruksi pemerintah).
Lagi satu soal vaksin, sebenarnya saya ingin membahas dalam satu tulisan khusus, tapi sebagai prefasi, jika kalian bertanya, apakah kamu setuju divaksin ? aku akan menjawab iya, karena ini menjadi kewajiban sebagai warga negara. Mungkin ada yang bilang, tubuhku bukan properti pemerintah.
Ya gapapa sih itu hak pribadi, tapi pernah ga kepikiran kalau pemerintah bilang, karena tubuhmu bukan propertiku, aku tidak perlu lindungi kamu kalau terkena COVID. Kalaupun ada yang bilang vaksin jadi titan, Raffi Ahmad sampe sekarang masih normal tuh, bahkan abis vaksin join pesta hehe. Alasan utama gue setuju di vaksin, ya karena, GRATIS, eh tapi beneran gratis kan ?
Pada akhirnya, hidup di jaman sekarang itu tidak usah muluk-muluk, yang penting SEHAT. Percuma skillfull, jago ini, jago itu, tapi sakit. Mendengar cerita teman-teman penyintas, sulit rasanya membayangkan untuk dikarantina, cuti dari pekerjaan, dan lain sebagainya.
Di titik ini saya sepakat bahwa apa yang dilakukan gereja sudah tepat, dimulai dari pembatasan jumlah umat yang misa hingga penyediaan protokol kesehatan, karena memang pada masa ini, sehat merupakan hal yang paling utama. Kata Sirakh 30:16, “Tiada kekayaan melebihi kesehatan badan, dan tiada kesukaan melebihi keriangan hati”.
Sekian dulu curahan hati saya dalam menyikapi pandemi, di lain kesempatan saya akan bicara soal pandemi dari sisi kebijakan publik. Banyak hal yang telah kita lalui di masa pandemi ini. Jika anda masih bernafas, baiknya tetaplah bersyukur. Pandemi ini mengajarkan saya untuk bersyukur, karena cuma ini yang bisa saya lakukan.
Oleh Eduardo Edwin Ramda yang kini menekuni penelitian juga aktif berorganisasi di Pemuda Katolik dan kelompok sosial lainnya.
Be First to Comment