Oleh: Ni Putu Candra Prastya Dewi, M.Pd.
Pembelajaran yang diajarkan guru dikatakan berhasil apabila anak senang dalam belajar. Intelektual tidaklah cukup sebagai modal anak untuk meraih kesuskesan belajar. Karena intelektual tanpa rasa cinta atau senang terhadap pembelajaran menjadikannya kurang berarti.
Selama ini kita mengenal istilah IQ (intellectual quotient) atau kecerdasan intelektual, EQ (emotional quotient) atau kecerdasan emosional, dan SQ (Spiritual Quotient) atau kecerdasan spiritual.
IQ (Intellectual Quotient) bersandarkan nalar atau intelektual. IQ meliputi kemampuan berhitung, menganalisa sampai mengevaluasi.
Ilmu pengetahuan atau keterampilan yang dikuasai oleh seseorang ditentukan oleh IQ. Namun penguasaan terhadap ilmu pengetahuan dan keterampilan saja diyakini belum cukup untuk menjadikan seseorang berhasil bila ia belum memiliki EQ dan SQ.
EQ (Emotional Quiotient) berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk mengontrol emosi, berempati dengan orang lain serta kemampuan bekerja sama dengan orang lain.
Sedangkan SQ (Spiritual Quotient) atau kecerdasan spiritual berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk menghadapi dan memecahkan masalah yang berhubungan dengan nilai, batin, dan kejiwaan.
Kecerdasan ini terutama berkaitan dengan abstraksi pada suatu hal di luar kekuatan manusia yaitu kekuatan penggerak kehidupan dan semesta.
Dengan menyeimbangkan ketiga kecerdasan ini diyakini bahwa kesuksesan akan menghampiri.
Akan tetapi ada satu hal yang menjadi dasar dari ketiga kecerdasan tersebut yang perlu dimiliki oleh seseorang untuk mencapai keberhasilan. Kecerdasan itu adalah kecerdasan cinta (Love Quotient).
Jika seseorang yang memiliki cinta (love) menginginkan sesuatu, maka cinta itu menjadi sumber energi yang luar biasa besar. Sehingga halangan sebesar apapun tidak akan mampu menghentikannya.
Sehebat apapun nanti artificial intelligence, yang bisa menyelesaikan permasalahan kesulitan belajar, rendahnya karakter anak maupun remaja, atau berbagai masalah kemanusiaan adalah manusia itu sendiri.
Karena masalah-masalah tersebut hanya bisa diselesaikan dengan cinta, sementara artificial intelligence tidak memiliki hal tersebut.
Gagasan mengenai pentingnya Love Quotient dikemukakan oleh Jack Ma dalam Festival Filantropi Indonesia 2018.
Menurutnya dia bisa berhasil dengan bisnisnya sehingga bisa menjadi 5 besar pengusaha e-commerse dunia karena ia memiliki Love Quotient, ukuran penguasaan cinta. Dengan memiliki cinta seseorang memiliki kepedulian
Banyak orang yang memandang rasa cinta ini secara sempit. Rasa cinta hanya dikaitakan pada hubungan romantis atau hubungan dalam keluarga saja.
Padahal, rasa cinta ini jauh lebih luas. Rasa cinta ini mengandung energi. Tanpa rasa cinta yang tulus, seorang pemimpin tak akan mampu memengaruhi pengikutnya.
Ia juga membutuhkan rasa cinta untuk bisa mendengar dan mengakui kekuatan orang lain serta belajar dari mereka tanpa memandang siapa mereka.
Begitupula seorang anak dalam belajar perlu memiliki rasa cinta terhadap pelajaran itu.
Dengan adanya rasa cinta, maka akan tumbuh keinginan untuk terus belajar. Rasa bosan itu akan sulit ditemukan apabila sudah ada cinta dalam diri anak.
Contohnya saja ketika seorang anak suka bernyanyi atau bermain musik. Kecintaan terhadap musik membuatnya tidak pernah bosan dan tidak pernah berhenti belajar. Sehingga dengan ketekunannya dapat membawanya menjadi seorang musisi profesional.
Dalam belajar pun ketika seorang anak kurang memiliki motivasi belajar artinya kecintaan terhadap pelajaran itu masih kurang.
Ketika seorang anak tidak menyukai suatu mata pelajaran tertentu, maka nilainya cenderung rendah. Dengan tidak adanya rasa cinta terhadap mata pelajaran tertentu maka keinginan untuk mempelajari mata pelajaran tersebut tidak ada.
Meskipun guru telah menjelaskan secara detail, anak tersebut tetap saja tidak memahami materi yang dijelaskan. Hal inilah yang menunjukkan bahwa kecintaan anak dalam belajar yang harus diutamakan.
Ketika ia sudah mencintai pelajaran, maka anak tidak akan pernah bosan untuk belajar meskipun waktu yang diberikan cukup panjang.
Hal ini merupakan salah satu tantangan bagi seorang pendidik untuk membangkitkan LQ (Love Quotient) anak dalam belajar.
Love Quotient dapat dibangkitkan dengan menerapkan suatu model pembelajaran tertentu dalam belajar atau variasi mengajar lainnya. Media pembelajaran menarik juga bisa dipilih guru untuk membangkitkan kecintaan belajar anak.
Hal lain yang dapat dilakukan yaitu dengan memberikan pembelajaran kontekstual. Pembelajaran kontekstual dapat dilakukan dengan pembelajaran di luar kelas ataupun pembelajaran berbasis project.
Ni Putu Candra Prastya Dewi, M.Pd. adalah Dosen STAHN Mpu Kuturan Singaraja Bali, Komunitas Penulis Art & Culture Manado-Bali
Be First to Comment