KATOLIKTIMES.COM – Beberapa pekan lalu, sempat heboh mengenai realitas dinamika Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) di tengah masa pandemi Covid-19 ini. Dimana, terdapat beberapa faktor yang menyebabkan persoalan, terkait kendala PPDB tersebut.
Salah satunya ialah persyaratan seperti usia peserta didik baru, dan juga prosesnya lewat via online. Sehingga, persoalan seputar PPDB adalah “diskursus hangat” bagi dunia pendidikan di Indonesia akhir-akhir ini.
Mengenai hal itu, telah banyak yang membahasnya dari beberapa perspektif dan pendekatan. Dari semua hal itu, ada satu poin penting yang penulis temukan, sebagai refleksi yang mendalam. ialah bahwa begitu besarnya minat dan dorongan bangsa Indonesia terhadap dunia pendidikan terlebih khusus sekolah.
Terutama diperlihatkan oleh masyarakat Indonesia sendiri, lewat para peserta didik dan juga orang tuanya. Dengan situasi dan kondisi apapun, mereka berhadapan dengan berbagai problematika internal, demi tercapainya suatu pendidikan dalam sekolah.
Bertolak dari refleksi itulah, penulis terdorong untuk membahas mengenai sekolah secara esensial. Menjadi pertanyaan ialah apakah yang disebut/dimaksud sebagai “sekolah”?
Setiap orang pasti punya pemahaman yang sama ketika mendengar kata “sekolah”. Banyak orang tertuju kepada sebuah bangunan, yang didalamnya terdapat seorang pengajar (guru), ada aturan-aturan/tata tertib, serta tentunya terdapat para pelajar dengan seragamnya yang khas.
Baca Juga: PMKRI KENDARI: REALISASI PERMENDIKBUD DI NANTI MAHASISWA TERDAMPAK COVID
Sebagian pula membayangkan sekolah sebagai suatu tempat di mana orang bisa memperoleh status pendidikan dan berbagai macam ilmu pengetahuan. Pada dasarnya konsep seperti itulah yang dimiliki oleh setiap orang.
Seiring berjalannya waktu, pemahaman tentang sekolah pun turut mengalami perkembangan. Orang mulai memahami sekolah secara lain. Kini, sekolah bukan hanya dilihat sebagai tempat untuk menimba ilmu.
Sekolah dilihat sebagai sarana dimana orang bisa memperoleh popularitas, penilaian subjektif, formalitas ijazah, serta berbagai macam bentuk sangahan lainnya. Dalam hal ini patut dikatakan bahwa perspektif yang salah terhadap sekolah ialah datang dari orang-orang masa kini.
Namun, tak bisa dipungkiri juga sekolah-sekolah masa kini mengalami berbagai macam persoalan internal. Akibatnya, para generasi muda bahkan sebagian orang tua/wali mulai membanding-bandingkan sekolah, atau “pilih-pilih sekolah”.
Dari situlah muncul istilah “Sekolah favorit atau sekolah papan bawah”, “Sekolah idaman atau sekolah buangan”, dsb. Saat ini banyak sekolah terseret pada persoalan-persoalan terbuka dan mendalam seperti krisis sistem sekolah tradisional, metode didaktik, isi, konsep tentang budaya, dan persoalan sekolah sebagai suatu lembaga.
REALITAS EDUKATIF SEKOLAH
Melihat berbagai realitas yang terjadi, mulai dari anggapan orang tentang sekolah dan kondisi sekolah itu sendiri, sekolah akhirnya dihadapkan pada suatu tantangan. Sekolah perlu “dipanggil” untuk kembali ke “jati dirinya” semula.
Sekolah ialah suatu proses orang menerima edukasi atau pendidikan. Edukasi adalah suatu bentuk pembelajaran yang mana pengetahuan, keterampilan, atau skill, dihantar dalam pikiran, dari seorang individu melalui instruksi, pelatihan, sharing, serta komunikasi.
Dalam proses ini, edukasi memberikan transfer informasi atau ilmu dari satu orang ke orang lain. Dalam cara apapun pengetahuan itu ditransfer, kepada satu tujuan akhir di mana pengetahuan tersebut mesti bersifat membentuk.
Sekolah perlu bersifat edukatif untuk pelayanan manusia dan demi promosi integral seluruh umat manusia. Tujuan-tujuannya bukanlah untuk membangun manusia hanya demi kepentingan individu, melainkan untuk menstimulasi pembentukan kepribadian yang harmonis dan matang atau dewasa.
Sekolah moderrn harus menjadi suatu sekolah yang terbuka bagi semua orang, yang mempunyai tugas Kultural untuk mempromosikan kreativitas dan penelitian dan pencarian nilai-nilai.
Demikianlah sekolah bersifat demokratis dan liberal. Artinya, sekolah sebagai suatu realitas edukatif yang mempunyai karakteristik dasar terbuka bagi publik seluas-seluasnya, liberal dan demokratis, dan yang tujuan-tujuannya mengacu pada kebijakan-kebijakan dari orang-orang yang punya kewenangan untuk menentukan kebijakan-kebijakan serta tujuan-tujuan sekolah tersebut.
Inilah cara pandang baru sekarang, yakni sekolah hendak dipahami sebagai realitas edukatif demi pelayanan promosi manusia secara integral, dan tujuan sekolah bukanlah untuk memenuhi kepentingan-kepentingan individu yang subyektif, tapi demi menstimulasi, membantu mendorong pembentukan generasi muda dalam mencari tempatnya di tengah-tengah masyarakat dan membantu mereka dalam mengambil keputusan demi masa depan mereka sendiri.
Dalam hal ini, sekolah mempunyai fungsi orientatif (mengarahkan) dan liberatif (membebaskan) dan bukanlah sebagai alat manipulasi dari struktur-struktur sosial, ekonomi, dan politik.
Fungsi sekolah tersebut memperlihatkan otonomi dari sekolah itu sendiri. Artinya, konsep ini bersifat universal untuk segala bangsa, tanpa menanyakan apakah sekolah semacam itu ada atau tidak.
Hingga kini nampaknya konsep seperti itu dianggap sebagai suatu usulan atau suatu percobaan untuk suatu sekolah ideal, dan karena itu masih terbuka terhadap pembenaran dan penyangkalan.
Pertanyaan sekarang: Apakah fungsi pendidikan/edukasi dalam sekolah-sekolah di indonesia, khususnya persekolahan Katolik selama ini, (sejak dari masa prapandemi Covid-19) mengarahkan dirinya kepada realitas yang edukatif dan demokrasi-liberal ?
Apakah urusan-urusan seputar pembinaan (baik intelek maupun kepribadian) menjadi unsur integral yang paling utama di samping unsur-unsur lain (pembangunan infrastruktur, biaya keuangan, status, dsb) ?.
Oleh: Ronaldo Gerardo Tamon adalah Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Seminari Pineleng, Selawesi Utara dan Komunitas Young Litercy Community.
Be First to Comment