Press "Enter" to skip to content

IMAN DAN PERUBAHAN SOSIAL

Share this:

KATOLIKTIMES.COM – Iman dan perubahan sosial menjadi arena yang selalu menjadi tantangan bagi kita di masa kini.

Beredarnya sikap rasisme baru-baru ini di Amerika Serikat (AS) menimbulkan situasi yang tidak aman, dalam waktu dekat ini di AS telah menimbulkan konflik antar golongan, meninggalnya George Floyd pada 25 Mei 2020 di Minneapolis.

Akibat peristiwa ini, dalam situasi sekejap terjadi demonstrasi besar di negera AS itu. Kejadian ini mendatangkan kritikan dari kalangan tokoh, dan aktivis di negara AS itu.

Munculnya beberapa gerakan kelompok atau organisasi yang melawan apartheid. Ini timbul dari sikap kepedulian dari kalangan kelompok tertentu untuk melawan sikap apartheid.

Sesungguhnya semua manusia di muka bumi ini mengharapkan suatu sikap perubahan. Puncak dari sikap perubahan adalah saling menerima keberadaan orang lain.

Sikap saling menerima menumbuhkan kerjasama dan menghasilkan perubahan baru dan hidup yang baru.

Iman dan Perubahan Sosial: Mengakui Keberadaan Satu Sama Lain

Manusia sesungguhnya tidak sama, sekalipun anak kembar, pasti ada perbedaan. Mestilah kita mengakui bahwa manusia itu berbeda, entah itu dari segi etnisitas, karakteristik, agama, warna kulit, suku, budaya dan lain sebagainya.

Itulah fakta yang ada dan kita mengakui itu. Di tengah perbedaan itu, kita berjumpa antara satu dengan yang lain dalam membangun relasi sebagai makhluk sosial. Misalkan di sekolah, siswa-siswi berjumpa satu sama lain di antar perbedaan itu.

Justru mereka saling melengkapi dan saling tergantung antar teman maupun guru. Contoh lain, hidup di masyarakat dengan situasi sosial yang berbeda.

Bayangkan kalau kita tidak mengakui perbedaan itu, apa yang terjadi? Jhon Danne mengatakan dengan kalimat yang sangat populer no man is and island, artinya manusia adalah makhluk sosial.

Sebagai mahkluk sosial, kita hidup di tengah masyarakat yang multikultur.

Ilustrasi (Ist)

Semua manusia di dunia menginginkan kesejahteraan bersama (bonum commune). Jauh dari segala bentuk persoalan.

Di lain sisi, kita juga mengakui bahwa begitu banyak persoalan yang kita hadapi saat ini, misalkan pandemi Covid 19, masalah kemiskinan, masalah intolerasi, dan berbagai aspek di dalamnya.

Semua persoalan itu berdampak pada kehidupan sosial dalam hidup sehari-hari. Dalam menghadapi pademi Covid-19, pada 14 Mei 2020 yang lalu, semua tokoh agama di Indonesia diajak mendoakan situasi kebangsaan dan kemanusiaan.

BACA JUGA: PANDEMI COVID 19 DAN KATEKESE

“Seorang uskup di Texas, Mark Seitz berlutut saat berdoa sebagai simbol solidaritas untuk George Floyd” (tempo.com).

Sebagai umat beriman, berharap bahwa Tuhan mengabulkan permohonan doa kita agar dijauh dari segala bentuk persoalan yang melanda kehidupan sosial sehari-hari.

Kita berhadapan dengan keyakinan kita untuk mewujudnyatakan iman dalam relasi sosial. Kita berharap bahwa pengalaman perjumpaan antar pribadi menjadi semakin mengenal dalam kehidupan sosial.

Pengalaman perjumpaan itu menumbuhkan semangat persaudaraan, soliditas dan gerakan bersama untuk saling menolong.

Pengalaman perjumpaan ini timbul dari kesadaran iman yang mendorong hati kita untuk peduli dan berbagi kasih kepada mereka yang berkekurangan.

Iman dan Perubahan Sosial: Sikap Umat Beragama

Wujud konkret iman tidak terpisah dari realitas sosial kehidupan manusia.

Seorang beriman menunjukan sikap solidaritas dan kepedulian terhadap masalah sosial. Wujud konkret pengalaman umat beriman adalah kepekaan, dan kepedulian dalam menanggapi masalah sosial hidup dalam masyarakat dan berbangsa.

Iman sampai menyentuh pada ranah hidup sosial. Iman dalam diri seseorang dan tidak terlepas dari relasi sosial di masyarakat.

Selama masyarakat itu ada, maka maka wujud iman dalam hidup beragama menjadi semakin konkret.

Sikap dan cara hidup mesti menujukan sikap iman. Iman yang melekat dalam diri menjadi wujud konkret tindakan moral, tahu mana yang baik dan mana yang tidak baik.

Dalam hal ini, sikap umat beriman memiliki peranan yang cukup besar dalam menanggapi realitas sosial.

Penulis memulainya bahwa agama tidak pernah mengajarkan tindakan kekerasan. Agama memiliki ajaran khas masing-masing sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya.

Maka peran dan fungsi agama menjadi pendorong untuk melakukan tindakan yang positif yang belaku dalam hidup bermasyarakat.

BACA JUGA: HIDUP BERKOMUNITAS, MENDENGARKAN DENGAN HATI, BERTINDAK DENGAN TULUS

Dalam hal apa peran dan fungsi agama? Jhon Prior (2004) mengatakan agama sebagai daya penggerak, daya pendorong serta sumber metanoia yang sanggup mengubah sikap dan hati manusia, menentukan arah dasar hidupnya serta menata ulang mentalitasnya.

Agama perlu kritis terhadap situasi sosial yang dihadapi masyarakat. Agama tidak menolak perubahan dan perkembangan zaman. Lain masa, lain masalah, lain pula tanggapannya (Frans Oton).

Artinya apa? Agama dalam perjalanan justru akan berkembang dan tetap eksis karena agama menjadi intensionalitas pembatinan nilai yang memberikan motivasi bagi umatnya menuju sikap yang baik, adil dan jujur.

Yang menjadi pertanyaan bagi kita adalah apakah agama masih tetap eksis sampai saat ini? Syukur (2016) mengatakan agama kita masih tetap eksis sampai sekarang.

Mengapa? Agama memberikan makna dan harapan ketika seseorang dihadapkan pada derita dan misteri hidup yang sulit diterima nalar.

Dalam ungkapan lain, agama memberi sense of meaning dan purpose of life berdasarkan iman.

Agama tidak serta merta menolak perubahan. Agama perlu mengikuti perubahan dan perkembangan zaman.

Gereja mulai mendefinisikan dirinya secara baru dalam hubungan dengan tata dunia, dalam hubungan dengan agama-agama (Nostra Astate) dan yang paling penting adalah membuka diri terhadap perubahan zaman, menyesuaikan diri dan menggunakan semua sarana dan alat-alat merupakan pencapaian akal budi manusia (Gaudium et Spes).

Bagaimana kita menanggapi perubahan itu? Kita perlu menggali dan melihat dengan kaca mata iman. Iman diwujudnyatakan dalam tindakan nyata di masyarakat.

Kita perlu menanggapi persoalan dalam hidup dengan kreatif, dengan melakukan berbagai tindakan kasih terhadap sesama.

Itulah ciri khas tindakan kita sebagai wujud iman dan rasa solidaritas terhadap sesama.

Zuly Qodir (2011) “Agama perlu menanggapi persolan dengan kreatif”.

Menurut Hendro Puspito (1986), “Agama dalam hal ini mempunyai peran dalam kehidupan bermasyarakat”.

Karena itu sebagai umat beragama, mestinya kita menaruh perhatian terhadap masalah sosial dalam kehidupan bermasyarakat. Sikap kepedulian terhadap masalah sosial membuahkan kesejahteraan bersama.

Br. Ferdianus Jelahu, MTB adalah seorang Bruder dari Kongregasi Maria Tak Bernoda (MTB) Ordo ke III Fransiskan Regular, Bantul, Yogyakarta.

Be First to Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *