KATOLIKTIMES.COM – Waktu semester satu saya Sr. Hieronima, SFD merasa sangat asing dari teman-teman yang berbeda agama, budaya, suku, dll. Rasanya kurang nyaman dengan situasi dan kondisi yang berbeda itu.
Dalam relasi setiap hari terasa amat kaku. Setiap kali berjalan menuju ruangan selalu ada perasaan canggung karena setiap orang yang saya lewati mengarahkan pandangan kepada saya.
Bagi mereka sangat heran dengan kehadiranku karena satu-satunya seorang biarawati yang mengenakan jubah setiap hari kalau ke kampus.
Saya mengasumsi kemungkinan karena saya mahasiswi perdana biarawati.
Pendidikan di universitas perlu menjadi teladan bagi masyarakat luas dalam menerima perbedaan antar satu dengan yang lain.
Mengenal perbedaan bukan sekedar kebersamaan, berbagai pengetahuan, tetapi perjumpaan sampai mengenal keberagaman.
Saling terbuka atas kelebihan dan kekurangan tentang perbedaan. Sebagai pelajar tentu saja, perbedaan itu perlu juga ditanggapi secara bijaksana.
Bijaksana dalam berpikir, bersikap, dan menempatkan cara pandangnya terhadap perbedaan yang saling mengakui perbedaan.
Sebagaimana diungkapkan dalam Dokumen Konsili Vatikan II tentang Nostra Aestate yang menegaskan bahwa “Pentinglah hidup damai bagi semua orang” (NA 5).
Lebih lanjut dijelaskan bahwa: Gereja Katolik tidak menolak apa pun, yang dalam agama-agama itu serba benar dan suci. Dengan sikap hormat yang tulus Gereja merenungkan cara-cara bertindak dan hidup, kaidah-kaidah, serta ajaran-ajaran, yang memang dalam banyak hal berbeda dari apa yang diyakini dan diajarkannya sendiri, tetapi tidak jarang toh memantulkan sinar kebenaran yang menerangi semua orang (NA 2).
Menerima pendidikan dalam perguruan tinggi di tempat saya belajar menunjukkan banyak hal yang berbeda. Lingkup kampus terdiri dari berbagai macam agama, suku dan budaya.
Mencakup semua agama, suku dan budaya. Saya sangat tertarik dan kagum dengan kebiasaan teman-teman yang lain.
Dan ini merupakan salah satu ciri khas yang dimiliki oleh kampus di Pematang Siantar. Menghargai seluruh perbedaan menjadi keharusan dan tugas setiap civitas yang ada di lingkup perguruan ini.
Merayakan seluruh hari raya besar keagamaan yang ada dalam lingkup kampus.
Setiap penganut agama diwajibkan untuk merayakan peringatan hari besar masing-masing yang selalu dirancang dan dirayakan setiap tahun di auditorium kampus.
Teman-teman dalam satu kelompok kelas saya selalu memiliki banyak pertanyaan yang unik-unik khusunya mengenai kehidupan dibiara.
Baca juga: HARI PAHLAWAN, DPP ALIANSI NUSANTARA: ANTISIPASI TERGERUSNYA NILAI-NILAI KEPAHLAWANAN
Bagi saya hal ini adalah wajar dan secara tidak langsung menjadi sarana komunikasi yang baik untuk saling mengenal perbedaan itu.
Hal itu memicu saya untuk keluar dari paradigm tentang intolerasi. Belajar untuk saling berbagai, mengenal perbedaan sebagai pengalaman yang indah dan bahagia.
Pengalaman merupakan guru yang paling baik. Kalimat ini tidak asing lagi dan familiar, bermakna dan berarti. Banyak yang mengakui bahwa pengalaman merupakan guru hebat.
Hidup ditengah perbedaan merupakan pengalaman yang menarik. Menarik karena saling menghargai dan menerima perbedaan. Bukan sebagai persaingan diantara perbedaan.
Ternyata kekayaan pengalaman itu ‘lahir’ dari perbedaan. Semakin menghargai perbedaan, maka semakin indah pula kisah-kisah hidup di tengah hidup bersama.
Bukankah berbeda itu indah? Bukankah perbedaan itu sebagai keunikan masing-masing perbedaan?
Pengalaman hidup bersama ditengah masyarakat luas dapat mengajarkan dan memberikan pengertian tentang banyak hal.
Pada era industri 4.0 ini sudah semakin banyak barisan individu dalam perguruan tinggi yang terlena dan secara tidak disadari terbawa arus perkembangan itu menciptakan dan membentuk diri menjadi egois.
Perbedaan perlu ditanggapi secara bijak di tengah perbedaan dengan mengasah hati secara kritis, kreatif, dan inovatif tidak hanya mengandalkan prestasi akademik.
Semester selanjutnya saya semakin enjoy, semakin nyaman, semakin hari semakin dapat dinikmati. Tidak jarang muncul guyonan dari teman-teman berkata “Ayo yang telat ngumpul tugas ceramahin aja ka“.
Baca juga: Kala Pengalaman Terkekang Ketakutan Masa Lalu
Saya mengerti bahwa mereka juga ingin tahu dengan tentang saya dan keberadaan saya. Kami sering berbagi pengalaman dan menjadi semakin akrab. Berbeda namun tetap saling menghargai.
Setiap kali berjalan bersama di depan umum banyak yang berkomentar positif meski selalu ada yang memandang secara negatif.
Kalimat yang paling sering terungkap adalah “Wah pakai jilbab jalan bareng suster biarawati”. Ada juga berkata “Katolik jalan bareng muslim kompak ya?” Terlihat sangat menarik.
Saya dan teman-teman saya selalu tersenyum setiap kali menerima komentar yang baik demikian. Bagi kami perbedaan bukan menjadi masalah.
Perbedaan justru menjadi sesuatu yang dijunjung demi nilai luhur. Bersyukur dilahirkan dan menjadi negara yang kaya akan keragaman (majemuk) dan itu menjadi pengalaman yang tidak pernah saya bayangkan.
Oleh Sr. Hieronima, SFD yang tinggal di Komunitas Provinsialat SFD Yogyakarta
Be First to Comment