Press "Enter" to skip to content

MENTAL ARCHIPELAGO DALAM POLEMIK INJIL BERBAHASA MINANG

Share this:

KATOLIKTIMES.COM – Mengasah mental archipelago dalam pro dan kontra Aplikasi Kitab Injil berbahasa Minang yang mencuat di awal bulan Juni 2020.

Kita sendiri masih tertatih-tatih dengan pelaksanaan new normal di masa pandemi covid 19 ini. Mungkin setelah masa new normal, akan muncul istilah, post new normal (setelah kenormalam baru). 

Entahlah, istilah apapun nanti, yang penting, kita bisa melewati masa pandemi Covid-19 ini dengan baik-baik saja.

Penulis tertarik untuk mengulik sekenanya saja polemik injil berbahasa Minang pada beberapa waktu lalu. Penulis bukan orang Minang dan tidak tahu tentang seluk beluk adat Minang.

Namun dimana-mana saya bisa temukan orang Minang. Orang Minang diaspora menyebar di banyak wilayah di seluruh Indonesia, termasuk di wilayah saya.

Orang Minang populer dengan makanan khasnya. Dikenal dari tulisan di warung makan, “Warung Minang”, “Rumah Makan Minang”, “Masakan Padang”.

Hampir setiap Warung Minang terlihat simbol rumah adat minangnya yang mengerucut lebar dan mungil. Aksesoris rumah makan yang indah menjadi daya tarik tersendiri bagi setiap konsumen.

Tentu ada yang lebih dalam dari sekadar gambaran visual di atas. Ada banyak tokoh nasional berdarah Minang.

Ilustrasi (google)

MENGEDEPANKAN MENTAL ARCHIPELAGO

Dewasa ini misalnya, kita mengenal Buya Syafii Maarif, seorang tokoh Muhammadiyah yang concern dengan problem pluralisme di Indonesia.

Kita bangga, oleh pemikiran Orang Minang seperti Buya Syafii Maarif. Kita diajak untuk terus menikmati keberbedaan sebagai satu Indonesia.

Buya mengedepankan mental archipelago (nalar kepulauan). Dari Sumatra bersinar secercah harapan akan semangat pluralism ke pulau-pulau di seluruh nusantara.

Musim semi hubungan antar-agama di Indonesia bisa dibaca dari kepribadian dan intelektulitas Buya Syafii Maarif.

Kita semua bangga. Betapa berharganya “engkau yang berbeda” di wajah ke-Indonesia-anku.

Keberbedaanmu melengkapi rasa jenuhku dalam kesendirian. Engkau yang berbeda menggelorakan semangat ke-Indonesia-anku.

Aku bangga jika adat dan budayaku membanggakan orang yang berbeda dengan saya. Demikian juga halnya dengan agama.

Saya yakin, Orang Kristen Padang (Minang) pun juga terlalu bangga dengan adat Minang, makanya Injil diadaptasikan berbahasa adat.

Namun ketika Injil Berbahasa Minang menjadi sebuah polemik, orang bertanya-tanya, ada apa dengan keragaman di Padang, Sumatera Barat?

Kitab Suci Gereja Kristen Padang tampil dengan bahasa Minang. Adalah hal biasa bagi sesama Gereja sejagat.

Firman Allah harus berakar dalam budaya. Tujuannya sederhana, supaya setiap pengikutnya bisa memahami Firman Tuhannya.

Jadi terjemahan Alkitab dalam banyak bahasa adalah bagian inheren dari upaya intensifikasi (pendalaman) iman Gereja.

Apa yang dilakukan Lembaga Alkitab Indonesia (LAI), menerjemahkan Kitab Suci dalam banyak bahasa daerah, termasuk bahasa daerah saya, It’s Okay. Sama seperti prinsip Orang Minang, adat dijunjung tinggi.

Kitab Suci diterjemahkan dalam bahasa daerah pun bertujuan supaya sapaan Tuhan masuk dalam nilai rasa dan bahasa setempat. Bukan upaya Kristenisasi. Apalagi proselitisasi.

Toh terjemahan itu, bukan untuk kaum non-Kristen. Agamamu tetap bagimu, agamaku tetap bagiku.

Kekhaasan agama Abrahamik, ya begitu (Islam, Kristen dan Yahudi). Dimana-mana ada simbol agama, di ruang-ruang publik manapun ditemukan simbol-simbol agama misi.

Keputusan menghapus injil berbahasa Minang menuai polemik. Faktanya, Gereja Padang tidak sepakat dengan keputusan sang gubernur PKS dua periode ini (bdk Kompas.com:12/6/2020).

Gereja Padang juga mengerti bahasa Minang, sebab jika mereka tidak mengerti, haqulyakin, Gereja Padang adalah kelompok pertama yang harus menolak terjemahan injil dalam Bahasa Minang, entah karena nilai rasa bahasa atau narasi teks yang mengganggu sakralitas sebuah Alkitab.

Keputusan menghapus injil berbahasa Minang dari google playstore, hemat saya merupakan babak lanjut dari pengelolaan keragaman yang belum tuntas.

Ya keputusan itu sangat polemis. Keputusan polemis itu sekaligus menguji ke-Indonesia-an kita, mengasah mental kepulauan (archipelago) kita.

Peristiwa budaya dan agama saudara-saudara di Padang adalah bagian dari peristiwa budaya dan agama saudara-saudara di pulau lain.

Beda pulau tetapi satu rasa, satu bangsa. Dalam bidang keragaman agama, Sumatra Barat sedang tidak baik-baik saja.

Kementerian Agama RI merilis hasil survey 2019, Provinsi Sumatera Barat menduduki peringkat kedua dengan indeks kerukunan antar-umat beragama di bawah standar untuk seluruh provinsi di Indonesia.

Artinya, toleransi dan keberagaman “babak belur” di Sumatra Barat. Membeku dalam eksklusivitas. Pemerintah terperangkap dalam hilir mudik kepentingan adat, agama dan politik, dan menjadi gagap di hadapan tekanan lembaga adat.

Pemerintah masih kalah di bawah insting homogenisasi kelompok tertentu. Mental kepulauan kian meredup.

Marwah konstitusi negara yang wajib dijamin setiap pemimpin bagi semua warga menjadi luntur. Tampak bahwa pemerintah menjadi silau dengan hegemoni agama dan politik dari kelompok tertentu.

Penulis dan peneliti hubungan antar-agama di Indonesia, Mujiburrahman dalam buku Feeling Threatened Muslim-Christian Relation (2006) menulis bahwa hubungan Muslim-Kristen cenderung bertensi tinggi di Indonesia disebabkan oleh mengentalnya rasa keterancaman, sampai-sampai menjadi paranoid.

Kaum Muslim merasa terancam dengan kristenisasi, sebaliknya kaum kristen merasa terancam dengan Islamisasi.

Sampai kapan baru sembuh dari penyakit paranoid agama ini? Please, move on from paranoid.

Belajar dan terus belajar untuk memperkuat mental kepulauan kita. Orang Minang adalah sekumpulan komunitas berharga di tengah aneka suku bangsa di wilayah kepulauan seluruh nusantara.

Kamu Orang Minang, saya orang Flores, kita Indonesia, walaupun berdiam di pulau masing-masing. Kita tergolong baik bukan karena kita dan kelompok kita merasa diri paling baik, tetapi karena mata yang memandang dari luar mendapatimu, baik, benar, menarik dan indah. Salam mental archipelago.

Oleh Hironimus Bandur Adalah Mahasiswa pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Jogya

Be First to Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *